• Yeva Purnama, S.Pd.
  • Bahasa
  • 2022-03-15 14:13:56
Optimalisasi Fungsi Bahasa Ibu

Satu di antara kekayaan bangsa Indonesia yang takbanyak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain adalah kekayaan kultural berupa bahasa daerah. Hasil pemetaan yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyatakan bahwa Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Uniknya, bahasa daerah yang begitu banyaknya tersebut hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Lebih jauh, keanekaan bahasa daerah yang ada di Indonesia justru dapat menjadi kapital yang positif dalam upaya mengembangkan dan memantapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Oleh sebab itu, alangkah tidak bijak jika bahasa daerah dipandang sebagai pengganggu bahasa Indonesia. Pun sebaliknya, bahasa Indonesia dipandang sebagai bahasa yang mematikan potensi bahasa daerah.

Berbicara bahasa daerah dan korelasinya dengan peringatan Hari Bahasa Ibu, pada umumnya, di Indonesia tumbuh kembang sebuah pemahaman bahwa bahasa daerah merupakan bahasa ibu itu sendiri. Pandangan demikian tidaklah keliru, karena memang secara faktual, kebanyakan bahasa ibu kita merupakan bahasa daerah, meskipun tidak melulu demikian. Ada kalanya, bahasa ibu seseorang adalah bahasa nasional, bahkan bahasa asing.

Bahasa ibu dapat dipahami sebagai bahasa yang pertama didengar yang pada gilirannya kemudian dijadikan sebagai bahasa komunikasi pada masa-masa pertumbuhan. Itu artinya, bahasa ibu menjadi latar linguistis dari pertumbuhan seseorang. Karenanya, bahasa ibu memiliki dimensi psikologis dalam pembentukan pola sikap, pola pikir, serta karakter penuturnya.

Bahasa daerah lebih berdimensi sosiokultural. Kehadiran dan perkembangannya tidak dibatasi oleh pagar-pagar imaginer yang menjadi pembatas administratif sebuah wilayah tutur. Bahasa daerah dapat menembus ruang-ruang geografis, meskipun di luar dari batas-batas wilayahnya, bahkan lintasnegara. Bahasa daerah lebih berfungsi sebagai medium komunikasi para penuturnya dalam kehidupan sosiokultural.

UNESCO telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Itu artinya, dalam dimensi sosiopolitis, kita dapat memandang bahwa penetapan Hari Bahasa Ibu Internasional tersebut sebagai sebuah indikasi betapa pentingnya upaya pemertahanan penggunaan dan pemberdayaan fungsi bahasa ibu di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Lebih jauh, setidaknya terdapat enam fungsi lain dari bahasa ibu itu sendiri, yakni fungsi emotif, fungsi kultural, fungsi edukatif, fungsi politik, fungsi ekonomi, dan fungsi klinis.

Bahasa ibu yang menjadi latar linguistis dalam pertumbuhan seseorang tentu memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan kognisi dan afeksi orang tersebut. Tak hanya sampai di sana, melalui bahasa ibu, seseorang dapat mengembangkan karakter dan emosinya. Karakter seseorang dapat dipengaruhi oleh ekspresi-ekspresi yang terkandung di dalam bahasa ibunya, seperti melalui pantun-pantun, petatah-petitih, dan sebagainya. Inilah yang menjadi fungsi emotif dari bahasa ibu. Berkait dengan fungsi emotif, Michael Halliday (salah seorang pakar linguistik terkemuka) menyebutnya dengan istilah fungsi personal. Menurutnya, bahasa apapun, termasuk bahasa ibu, membuka ruang yang besar kepada penutur untuk mengekspresikan perasaan, emosi pribadi, serta reaksi-reaksi yang mendalam. Dalam hal ini, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi pada umumnya mencerminkan kepribadian seseorang.

Bahasa ibu juga memiliki fungsi kultural yang dengannya, seseorang dapat mengidentifikasi identitas kulturalnya itu. Identitas kultural itu sendiri merupakan perasaan (emotional significance) yang ada pada diri seseorang untuk ikut mengakui, memiliki (sense of belonging), serta berafiliasi dengan kultur tertentu. Suatu masyarakat tutur yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural (cultural identification), yakni tiap-tiap orang memosisikan diri mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Itu artinya, fungsi kultural dari bahasa ibu ini memiliki posisi yang lebih komunal dari fungsi emotif yang sangat personal. Sebagai contoh, ketika kita berkomunikasi dengan seseorang, kita dapat mengidentifikasi latar kultural dari mitra tutur kita, salah satunya melalui bahasa dan ihwal lainnya yang berhubungan dengan bahasa, seperti logat, pilihan bahasa, campur kode, alih kode, dan sebagainya.

Takkalah pentingnya adalah fungsi bahasa ibu sebagai bahasa pendidikan. Inilah aspek dari fungsi edukatif bahasa ibu. Berkait dengan hal ini, menjadi menarik jika kita melihat temuan Tim Inovasi Balitbang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang mendukung penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran kelas awal di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi signifikan antara keberhasilan pembelajaran dengan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantarnya. Tentu jika ditelaah lebih jauh, hal ini tidak dapat dilepaskan dari kedua fungsi bahasa ibu yang telah disebutkan di atas, yakni fungsi emosional dan fungsi kultural yang ternyata mendukung fungsi edukatif dari bahasa ibu. Kajian UNESCO kian mempertegas hal tersebut. Berdasarkan hasil kajian UNESCO di berbagai negara, akhirnya bahasa ibu dianjurkan untuk digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, khususnya di kelas awal. Anjuran UNESCO ini sangat beralasan, mengingat siswa di kelas-kelas awal diduga kuat akan lebih mudah berkomunikasi dan memahami pelajaran melalui bahasa ibu.

Jika dilihat lebih jeli, substansi peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang dicetuskan UNESCO bukan terletak pada problematik pilihan bahasa pertama apa yang digunakan dalam satu keluarga. Peringatan ini lebih ditujukan pada upaya menjaga dan melestarikan keanekaragaman dan multikulturalisme di dunia. Hal ini terlihat dari latar historis lahirnya Hari Bahasa Ibu Internasional. Peringatan setiap 21 Februari tersebut mengacu kepada resolusi masyarakat Bangladesh yang menuntut adanya pengakuan terhadap bahasa Bangla sebagai bahasa nasional di Pakistan. Tuntutan tersebut mesti dibayar dengan lima nyawa demonstran di Pakistan Timur, tepatnya pada 21 Februari 1952. Jadi, momentum Hari Bahasa Ibu Internasional ini tentu berdimensi politis, yakni upaya untuk menghargai perjuangan yang takmudah dari masyarakat Bangladesh untuk menuntut adanya pengakuan bahasa ibunya. Dari hal tersebut, dapat dipahami juga bahwa ternyata bahasa ibu memiliki fungsi politik. Bahasa ibu dapat menjadi aspirasi politik suatu komunitas tutur untuk memperjuangkan hak-hak politiknya.

Selanjutnya, dimensi ekonomi juga takkalah penting dari fungsi bahasa ibu. Hal ini berkaitan erat dengan bahasa ibu yang membuka potensi luas untuk mendatangkan keuntungan finansial. Dalam dunia industri musik, misalnya, takjarang bermunculan seniman-seniman musik dan tarik suara yang mengangkat nuansa lokalitas, bahkan bernyanyi dengan menggunakan bahasa daerah. Dewasa ini juga kian bermunculan para pegiat sosial media, khususnya Youtube, yang mengangkat konten-konten yang juga bernuansa lokalitas. Tentu, selain bermotif edukasi juga termuat motif ekonomi di dalamnya.

Terakhir, bahasa ibu juga memiliki fungsi klinis. Hal ini berkaitan erat dengan pemulihan kompetensi linguistik dari para penyandang gangguan wicara, seperti afasia. Dalam berbagai temuan riset. para penyandang afasia pada umumnya adalah bukan penutur monolingual, melainkan bilingual atau bahkan multilingual. Multilingualisme pada diri penyandang afasia menyimpan kompleksitas tersendiri, khususnya berkaitan dengan pemulihan kompetesi bahasanya. Artinya, dari dua atau beberapa bahasa yang dikuasai oleh penyandang afasia, bahasa mana yang memiliki potensi pulih lebih awal, apakah bahasa ibunya atau bahasa kedua, bahasa ketiga, dan seterusnya. Dari temuan berbagai riset, sebagian besar peneliti neurolinguistik menyatakan bahwa bahasa pertama, dalam hal ini adalah bahasa ibu, berpotensi pulih lebih awal dibandingkan bahasa kedua, bahasa ketiga, dan seterusnya. Dari kasus ini, ternyata bahasa ibu juga memiliki fungsi klinis, yakni dapat dijadikan sebagai bahasa terapi untuk penyandang afasia bilingual.

Dari sejumlah fungsi bahasa ibu yang telah dijelaskan di atas, dapat dipahami bahwa bahasa ibu memiliki potensi luar biasa dan menyentuh multidimensi kehidupan. Dalam konteks Indonesia, bahasa ibu/daerah menjadi aset penting bangsa kita. Tentu, aset berharga ini mesti dijaga dan dilestarikan secara baik. Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional ini semestinya dijadikan sebagai momentum yang baik untuk bersinergi dan berkolaborasi dari berbagai lapis masyarakat untuk terus menjadikan bahasa ibu terpelihara.