• YAYASAN PENDIDIKAN NASIONAL TARUNA BANGSA Jl.Lingkar Utara Bekasi Kel. Perwira Kec. Bekasi Utara (sebelah BSI Kaliabang) Raya Bekasi KM.27 Pondok Ungu
  • Susan Susanti, S.Pd.
  • Bahasa
  • 2019-05-19 10:47:13
Cagar Budaya Candi Cangkuang

Cagar Budaya Cangkuang yang berlokasi di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat  berada di sebuah daratan di tengah danau kecil (dalam bahasa Sunda disebut situ), sehingga untuk mencapai tempat tersebut orang harus menggunakan rakit. Di kawasan ini ada sebuah candi yang bisa ditemui di Kampung Pulo, Desa Cangkuang , Kecamatan Leles. Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat yaitu, Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur.  Istilah Cangkuang sendiri berasal dari nama sebuah tanaman (pohon Cangkuang) yang banyak tumbuh di sekitar daerah ini. Candi ini ditemukan pada 9 Desember 1966 oleh seorang ilmuwan Sunda Uka Tjandrasasmita. Uka menemukan candi berdasarkan buku yang ditulis seorang Belanda bernama Vorderman pada tahun 1893. Mulanya, Uka tidak menemukan apapun di lokasi sesuai petunjuk Vorderman. Yang pertama ditemukan justru sebuah makam kuna bertuliskan Arif Muhammad. Candi tinggalan zaman Hindu di tanah Pasundan ini meninggalkan sejuta misteri. Sebab di kaki candi, terdapat sebuah makam kuno yang dikeramatkan. Itulah makam Eyang Arif Muhammad, tokoh penyebar Islam mantan perwira Kerajaan Mataram. Hampir tiap hari, lokasi ini ramai didatangi orang, kecuali hari Rabu. Namun melihat batu-batu andesit yang berserakan, dipastikan itu merupakan bagian dari bangunan candi. Setelah disusun kembali, diketahuilah bila Candi Cangkuang berasal dari abad ke-8. Itu dilihat dari kelapukan batu dan segi pahatannya.

Para ahli sejarah menyebut, jika dibanding dengan kondisi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebenarnya pengaruh Hindu lebih dulu menyentuh daerah Jawa Barat. Ironisnya, hampir tidak ditemukan bangunan suci berbentuk candi sebagai peninggalan. Satu-satunya candi yang ditemukan adalah candi Cangkuang, yang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Lele, Kabupaten Garut. Candi Cangkuang ini juga masih dalam silang pendapat di kalangan pakar. Tak heran, tulisan maupun sejarah candi ini nyaris tidak ada. Yang ada hanya cerita rakyat yang berkembang secara turun-temurun. Masalahnya, sejak candi ditemukan, tidak ada petunjuk berupa prasasti atau lainnya yang menjelaskan soal Cangkuang. Namun, melihat adanya arca Syiwa pada candi ini, jelas bila Candi Cangkuang merupakan peninggalan zaman Hindu di masa lampau. Berbeda halnya dengan kondisi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di sana, tidak sedikit candi-candi peninggalan Hindu yang tersebar di berbagai tempat. Ditambah berbagai prasasti dan tulisan-tulisan kuno yang menjadi petunjuk. Tapi candi Cangkuang ini tidak seperti itu. Ini yang membuat para pakar melihat itu sebagai keunikan tanah Pasundan. Menurut mereka, raja-raja Sunda pada masa itu punya falsafah hidup yang lain. Nampaknya bukan kemegahan lahiriyah yang hendak dicapai, tapi hakekat dari perilaku, maupun urusan hubungan dengan Sang Pencipta. Karena kondisi itulah, di tanah Pasundan hanya ditemukan sebuah candi sebagai tempat suci umat Hindu pada masa lampau, yakni Candi Cangkuang. Nama Cangkuang diambil dari nama desa dimana candi ini pertama kali ditemukan.

Penyebar Islam Menurut Iri Suhiri (81), sesepuh masyarakat kampung adat Pulo, candi itu sudah ada sejak zaman dulu. Eyang Arif Muhammad, leluhurnya, adalah penemu candi itu. “Setelah menemukan candi, Eyang Arif membangun perkampungan di daerah Cangkuang ini. Eyang Arif adalah tokoh penyebar Islam dari Kerajaan Mataram. Makamnya di kaki Candi Cangkuang mengandung karomah,” tuturnya. Seperti diceritakan Iri Suhiri, Eyang Arif Muhammad bukanlah tokoh sembarangan. Selain memiliki ilmu keislaman yang tinggi, leluhurnya itu juga punya keistimewaan. Antara lain kata-katanya mengandung tuah. Sejak Eyang Arif meninggal, makamnya dikeramatkan orang. Tidak sedikit yang datang berziarah ke makam itu sambil memohon doa kepada Allah SWT agar kehidupannya lapang. “Segala permohonan orang banyak dilakukan di sini. Tapi jangan lakukan itu di hari Rabu,” tandas Iri. Sebab, jelasnya, hari itu adalah pantangan orang melakukan aktivitas, kecuali diisi dengan pengajian dan beramal baik. Menurut Iri, pada Rabu itu, dalam sejarahnya adalah hari yang kelam. Pada hari itulah putra bungsu Eyang Arif dan masyarakat Cangkuang tewas oleh sebuah malapetaka. Untuk mengenang hari itu, Eyang membangun sebuah masjid di Kampung Pulo sebagai titisan putra kesayangannya itu.

Tak hanya keindahan alam yang ada di Garut, Jawa Barat bisa dinikmati wisatawan. Namun, sisi lainnya terdapat sebuah kampung adat yang menandakan penyebaran agama Islam di sana. Kampung adat tersebut bernama Kampung Pulo. Letaknya berada di kompleks Candi Cangkuang, persis sebelum pintu masuk candi tersebut. Suasana begitu asri, jauh dari hiruk pikuk kendaraan membuat kampung ini sangat nyaman dikunjungi. Selain itu juga area Kampung Pulo bisa dijadikan menjadi spot berfoto. Menurut juru pelihara Candi Cangkuang, Umar, penduduk Kampung Pulo merupakan keturunan dari almarhum Eyang Embah Dalem Arif Muhammad. “Waktu itu Eyang (Embah Dalem Arif Muhammad), menyebarkan Islam di sini (Desa Cangkuang, Garut). Beliau memiliki tujuh anak, enam diantaranya perempuan dan satu laki-laki,” kata Umar kepada KompasTravel beberapa waktu lalu.
 

Selain candi, di pulau itu juga terdapat pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari kawasan cagar budaya. Kampung Pulo merupakan sebuah kampung kecil, terdiri dari enam buah rumah dan enam kepala keluarga. Sudah menjadi ketentuan adat bahwa jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam orang dengan susunan tiga rumah disebelah kiri dan tiga rumah disebelah kanan yang saling berhadapan ditambah satu masjid sebagai tempat ibadah. Oleh sebab itu, kedua deretan rumah tersebut tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Jika seorang anak sudah dewasa kemudian menikah, paling lambat dua minggu setelah pernikahan harus meninggalkan rumah tempat asalnya, ke luar dari lingkungan keenam rumah adat tersebut. Dia bisa kembali bila salah satu keluarga meninggal dunia. Itupun dengan syarat harus anak wanita dan ditentukan atas pemilihan keluarga setempat.

Lokasi cagar budaya Cangkuang berjarak sekitar 46 km dari Bandung. Akses menuju Candi Cangkuang dapat dengan mudah dijangkau melalui jalan aspal dengan moda transportasi baik roda empat maupun roda dua. Selain itu juga terdapat moda transportasi berupa andong atau delman yang setiap waktu menunggu di dekat alun-alun Kota Leles. Dikutip dari Antara, Pemerintah Garut berencana menjadikan kawasan ini sebagai wisata budaya. Pembicaraan awal telah dilakukan dengan para ketua adat dan ditargetkan terlaksana di 2016.

Jl.Lingkar Utara Bekasi Kel. Perwira Kec. Bekasi Utara (sebelah BSI Kaliabang) Raya Bekasi KM.27 Pondok Ungu

Email : admin@smktarunabangsa.sch.id

Pengumuman